Friday, June 3, 2011

Menuju Hati Yang Bersih

AlDakwah.org --- Imam Ibnu Al Qayyim mengklasifikasikan ibadah dalam 3 (tiga) bagian, yaitu :


1. Amalan Hati, seperti : Tawakkal kepada Allah SWT., mahabatullah, tawadhu`, khusyû`, niat ikhlash, raja` dan lain sebagainya.


2. Amalan Lisan, seperti : Mengucapkan dua kalimat syahadatain, tasbîh, istighfar, bersumpah atas nama Allah SWT. , berdo`a dan lain sebagainya.


3. Amalan Anggota Badan, seperti : Shalat, puasa, jihad, menuntut ilmu, berdagang, berladang, dan lain sebagainya.


Amalan yang paling diprioritaskan atau paling afdhal di antara 3 (tiga) jenis amalan tersebut adalah amalan hati yang dilakukan oleh hati manusia beriman. Ada beberapa alasan asasi (dasar) yang menjadi dasar dari prioritas ini:


1. Amalan hati merupakan penentu sah atau tidaknya suatu amalan


Sesungguhnya amalan lahiriyah yang dilakukan oleh lisan dan anggota tubuh lainnya tidak akan diterima oleh Allah SWT., selama tidak disertai dengan amalan hati (niat) yang merupakan dasar bagi diterimanya suatu amal lahiriah. Sabda Rasûlullah SAW:


"Sesungguhnya seluruh amalan harus disertai dengan niat." (Muttafaqun `Alaihi dari Umar bin al-Khaththab ra.)


Karena itu suatu amal atau pekerjaan atau aktifitas (apapun bentuknya) sangat bergantung dan terkait dengan niatnya. Suatu amal tanpa disertai dengan suatu niat yang benar, seperti halnya badan tanpa ruh atau seperti pohon tanpa buah, tidak berfungsi, dan tidak menguntungkan sedikitpun.


Hatilah yang dinilai oleh Allah SWT, karena bila bersih niatnya, maka Allah SWT. akan menerima amalannya dan apabila kotor hatinya (niatnya tidak benar atau berbau syirik atau tidak ikhlash), maka dengan sendirinya amal tersebut akan ditolak, sabda Rasûlullah SAW:

"Sesungguhnya Allah SWT tidak melihat kepada bentuk tubuh dan rupamu, tetapi Dia melihat kepada hatimu sambil Beliau mengarahkan jari-jariNya ke dadanya" (H.R. Muslim dari Abû Hurairah ra ).


2. Hati merupakan cerminan hakikat pemiliknya


Dalam shahîh Bukhari dan Muslim disebutkan bahwa Nabî SAW bersabda:


"Ketahuilah sesungguhnya di dalam tubuh manusia ada segumpal darah, apabila dia baik maka baiklah seluruh tubuhnya, dan apabila dia rusak, maka rusaklah seluruh tubuhnya. Ketahuilah bahwa segumpal darah itu ialah hati." (Muttafaqun `Alaihi, dari Nu`man bin Basyîr).

Untuk lebih memperjelas pemahaman hadîts di atas marilah kita mengingat kembali firman Allah SWT yang termuat dalam surat Asy-Syams, ayat 8 - 10 :

"Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketaqwaan, (QS. 91:8) sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, (QS. 91:9) dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya. (QS. 91:10)."

Dalam hati manusia terdapat dua jenis "bibit penentu", yang satu kita sebut saja sebagai "bibit kebaikan" yang merangsang dan mendorong manusia untuk melakukan amal kebaikan atau perbuatan yang mendekatkan dirinya kepada Allah SWT., sedang yang lainnya kita sebut dengan "bibit kejahatan" yang merangsang manusia untuk melakukan melakukan perbuatan fahsya (keji) atau kemungkaran kepada Allah SWT.

Al-Fujûr merupakan "benih kejahatan" yang dengan istilah lainnya dikenal sebagai nafsu syahwat syaithaniyah yang senantiasa membisiki dan menghembusi manusia untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan tercela lagi berdosa yang akan mengantarkannya ke jalan kefasikan dan berhilir di neraka. Sedang at-Taqwa merupakan "benih kebaikan" yang senantiasa memotifasi dan memobilisasi manusia untuk melakukan amal kebajikan dan pekerjaan yang mendekatkan dirinya kepada Allah SWT.

Dari sini kita dapat mengetahui bahwa pada hati manusia terdapat 2 (dua) kekuatan yaitu kekuatan "Fujur" dan "Taqwa" (sebagaimana yang dipaparkan dalam surat Asy-Syams di atas) yang selalu bertempur untuk saling mengalahkan satu dengan yang lainnya sehingga salah satu dari keduanya menjadi pemenang atau lebih mempunyai pengaruh dalam menentukan perilaku kehidupan "tuannya". Apabila setiap rangsangan "benih kebaikan (At-Taqwa)" ini yang timbul dalam diri manusia selalu direspon dalam bentuk amal shalih secara benar dan kontinue (berkesinambungan) maka dengan sendirinya "benih kebaikan" akan semakin berkembang dan akan mendominasi atau mengusai hati "tuannya". Sehingga ide, pola fikir, keperibadian dan seluruh anggota tubuhnya akan menjadi baik karena mengikuti instruksi-instruksi yang datang dari hati yang dipenuhi dengan "benih kebaikan". Maka jadilah "tuannya" ini termasuk orang-orang beruntung yang mampu membersihkan jiwanya dari nafsu syahwat syaithaniyah karena ia hanya mau merespon bisikan dan panggilan kebaikan (taqwa) saja. Sebagaimana firman Allah SWT:

"Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, (QS. 91:9)

Dan sebaliknya bagi manusia yang lebih sering merespon tuntutan nafsu syahwat syaithaniyahnya maka tindakan tercela lagi berdosa itu dengan otomatis memberikan kontribusi dan mempercepat pertumbuhan serta peluasan "benih-benih kejahatan (fujûr)" sehingga benih ini akan mendominasi hatinya. Dari Abû Hurairah ra bahwa Rasûlullah SAW bersabda:

"Sesungguhnya orang mukmin, ketika ia berbuat dosa maka (saat itu juga) akan menempel titik hitam di hatinya, jika ia bertaubat dan mencabut (dirinya dari perbuatan dosa tersebut) dan memohon ampunan maka hatinya (kembali) bersih, jika ia menambahinya (dengan perbuatan dosa lagi) maka titik hitam itu bertambah pula di dalam hatinya. Selanjutnya itulah "ran" yang disebutkan dalam firman Allah SWT:


"(Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutup hati mereka)."


Hadits hasan, dikeluarkan oleh Ibnu Majah dalam "Kitab Az-Zuhd, bab Dzikru Adz-Dzunûb.

Pada saat hati manusia dikuasai oleh "benih-benih kejahatan (fujûr)" maka ide, pola fikir, keperibadian dan seluruh anggota tubuhnya akan menjadi buruk karena mengikuti instruksi-instruksi yang datang dari hati yang dipenuhi dengan "benih kejahatan", sehingga jadilah ia termasuk orang-orang yang merugi karena ia telah mengotori dan mencemari jiwanya dengan selalu menuruti nafsu syahwat syaithani, sebagaimana firman Allah SWT:

"Dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya. (QS. 91:10)."

Dalam kitab Minhajul Qashidîn dikatakan:

Bahwa sesuatu yang paling berharga, paling bernilai dan paling mulia pada diri manusia adalah hatinya. Sedang anggota tubuh hanya sekedar mengikuti dan menjadi pelayan hati, sebagaimana seorang tuan yang memerintahkan hamba sahayanya sebagai pelayannya.



Abu Faqih Rendusara

dan janganlah Engkau hinakan aku pada hari mereka dibangkitkan,

di hari harta dan anak-anak laki-laki tidak berguna,

kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih,


Sumber:
http://members.tripod.com/qalbun_salim/

No comments:

Post a Comment